Kamis, 06 Oktober 2011

seni (ART), klenik dan mistis ditambah sedikit imajinasi

Seni, yang kata orang banyak identik dengan nyentrik dan aneh, atau juga indah bagi sebagian orang meskipun belum tertemukan dimanakah letak indah, nyentrik ataupun anehnya. Berbagai tafsir tentang seni itu tentu sah-sah saja, namun yang pasti bagi para penghuninya, seni merupakan sebuah tempat tinggal yang nyaman. Tentu juga dengan berbagai alasan dan sebab tersendiri.

Kata Pak Tardi (Fajar Sutardi, teman saya dari komunitas Perupa Pintu Mati Solo), seni tak jauh beda dengan ‘bertani’ dan juga ‘berdakwah’ yang memang selama ini dilakoninya. (Maaf Pak, saya tulis tanpa ijin, hehehe….). Saya sependapat dengan itu karena memang seni dan bertani (atau mungkin juga aktifitas lainnya) hampir sama, sama-sama mengolah sesuatu. Kalau bertani mengolah tanah, seni mengolah pikiran. Lebih lanjut Pak Tardi bilang bahwa alam selalu memberi dan tak pernah meminta, senada dengan yang diungkapkan seorang Kahlil Gibran, bahwa ‘ semaikan benih dan bumi akan memberi kamu bunga’. Sedangkan berdakwah ‘menyampaikan seruan kepada orang lain’ maka seni juga tak jauh beda, menyampaikan isi pikiran yang sudah menggumpal dan tervisualisasikan lewat karya kemudian disampaikan kepada khalayak umum.

Tiap kepala mempunyai isi pikiran masing-masing, ada juga teman saya yang berpendapat bahwa seni berawal dari sampah dan akhirnya menuju tempat sampah. Ini muncul karena kekesalan dia (atau juga ‘keheranan’) melihat para seniman terutama anak-anak kampus yang mengusung sesuatu yang menurut dia kotor dan layaknya sampah kemudian diangkat ke ruang pameran untuk diklaim sebagai karya seni, dan akhirnya karya itupun kembali ke asalnya yaitu tong sampah, karena tidak laku untuk dijual. (Saya tersenyum juga mendengar ini, hehehe…).

Kalau menurut pembaca bagaimana…?

Arus informasi dan teknologi sedemikian cepat, seperti kedipan mata. Kalau dulu untuk tahu apa yang terjadi di belahan bumi lain kita menunggu sehari atau minimal berjam-jam, kini dalam detik itu juga kita tahu dengan bantuan media. Demikian sehingga seni juga masuk dalam arus yang tak terelakkan tersebut. Perubahannya juga sebegitu cepat, apa yang dianggap baru hari kemarin, hari ini menjadi sesuatu yang basi. Demikian juga besok sudah muncul sesuatu yang baru dan menutup anggapan-anggapan baru tentang hari ini. Dalam hal karya seni, bermacam aliran muncul dan dengan mudah pula tertimpa yang lainnya sehingga tumpang tindih tak karuan banyaknya.

Bermacam komunitas seni yang lahir dan bermunculan, namun tak sedikit pula yang mati dan bertumbangan. Dihempaskan oleh derasnya arus global, atau jua disebabkan oleh sesuatu hal. Tak sedikit pula yang anggotanya berguguran satu persatu, tak terkecuali komunitas yang besar ataupun yang kecil. Saya yang secara geografis jauh dari tempat lahir dan mangkalnya ‘anak-anak Pintu Mati’, merasa betul betapa sebuah komunitas sangat berperan dalam atmosfir hari-hari. Kehadiran komunitas sangat memberi andil dalam perkembangan atau gerak keseharian kita. Warna hidup kita begitu terasa karena adanya komunitas. Hal itu berlaku dalam komunitas apapun, karena komunitas itulah yang membentuk dan membakar diri kita untuk ‘ada atau hilang’. ( Mungkin pendapat ini begitu subyektif, namun mudah-mudahan kesubyektifan itu tidak menghalangi untuk membuka pikiran kita masing-masing). Masalah ‘ada atau tidak’ tentu tidak hanya ditentukan semata-mata oleh sebuah komunitas namun komunitas tidak bisa kita kesampingkan keberadaannya.

Ah, kenapa jadi serius amat…? Si Amat aja nggak serius…hehehe.

Kembali tentang pendapat orang, seni ada yang menurut sebagian malah bikin pusing. Bagaimana tidak pusing, lukisan yang bentuknya tak karuan dipajang di ruang pamer kemudian orang lain disuruh melihatnya, bukankah ini bikin pusing namanya. Sebagian juga melihatnya dengan menggerutu. “Iki lukisan opo maneh…?!” Celetuknya saya dengar ketika seseorang melihat lukisan didinding pameran. Mungkin Anda juga pernah melihat kejadian seperti ini, atau malah orang tersebut adalah pembaca? Hehehe…

Lukisan kadang misterius, semisterius pelukisnya. Karena faktor misterius itulah yang semakin membuat penasaran bagi sebagian pemerhati, penikmat seni, kolektor ataupun kolekdol seni. Istilah kolekdol ini muncul karena seseorang membeli lukisan bukan untuk koleksi tetapi untuk dijual lagi. Sebuah istilah dari penggabungan kata koleksi dan adol (bahasa Jawa yang berarti menjual). Beberapa waktu yang lalu, para kolekdol ini dijauhi oleh mereka yang dengan kukuh menggenggam erat nama ‘seni’ didadanya. Namun lagi-lagi karena faktor waktu yang menggeser semuanya. Kini mereka itu tak segan lagi untuk ikut nimbrung di lingkaran pasar. Sebelumnya mereka alergi atau malu ketika mendengar nama ‘pasar’. Para kaum idealis mulai melirik pasar dan bahkan berlomba untuk sedekat mungkin bersentuhan dengannya. Pasar ramai oleh lukisan yang sangat beragam aliran, dari klasik sampai kontemporer.

Efek pasar seni sangat beragam, diantaranya membuat perubahan pada pelaku-pelaku seni. Yang dulu puas dengan idealisme dan konsep. Maka kini semakin melebar dengan sedikit keluar dari idealismenya. Atau juga sebagian mengklaim masih idealis dengan konsepnya. Tetapi yang pasti perubahan itu sangat kentara pada sikap keterbukaan mereka. Sebagai contoh yang saya lihat sendiri, lukisan-lukisan pak Bonyong (Bonyong Munny Ardie) yang dulu kata pak Beng (sesama pelukis, teman pak Bonyong dari Surabaya) lukisan-lukisan Bonyong ‘belum jadi’. Kata ini terlontar karena melihat lukisan-lukisan Bonyong ada yang disisakan satu figur yang sengaja ‘tidak diselesaikan’. Tetapi terlihat kini lukisan Bonyong secara visual sangat halus bila dibandingkan dengan yang dulu. Tentunya juga dengan idealisme yang sangat subyektif. Dengan kata lain, idealisme dengan bungkus yang baru. (Maaf lho pak Bonyong kalo pendapat saya ini keliru, hehehe…). “Méntému…!!!” kata pak Bonyong setiap kali diejek oleh seseorang.

Lain lagi dengan para pelaku seni yang dari awal sudah akrab dengan kolekdol, mereka terkadang sinis ketika mendengar kata idealisme, karena menurut sebagian mereka idealisme tidak bisa menghasilkan uang, padahal dapur harus tetap mengepul. (Ah, setiap orang boleh berpendapat koq. Pendapatnya juga benar dalam ruang lingkupnya masing-masing).

Mungkin tulisan ini hanyalah uneg-uneg penulisnya yang kini jauh dari komunitas, atau setidaknya curhat kepada angin, atau juga ibarat meludah ke langit yang kemudian akhirnya mengenai wajahnya sendiri. Terserah apa saja, yang penting semoga angin punya telinga atau langit punya gravitasi sehingga ludahnya tidak mbalik ke wajah lagi. Yang pasti, kini yang jauh itu mencoba untuk mengejar meskipun mungkin nanti terjadi overlap.

Salam budaya…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar