Jumat, 21 Oktober 2011

GURU, ing ngarso sung tuladha…! Kami tut wuri meneladani

Ketika orang menyebut kata ‘guru’, ingatan kita kemudian tertuju pada orang yang mengajar di depan kelas, dengan beberapa pasang mata dan telinga yang memperhatikan di depannya. Persepsi itu tidaklah salah. Sejak kanak-kanak kita telah diajari untuk berpikir singkat dan instan. Padahal kita dapat lebih mengembangkan pikiran kita dengan sedikit lebih luas, tidak hanya pada apa yang kita lihat saja, namun juga pada apa yang kadang tidak sempat terlintas di dalam benak kita. Seperti halnya ketika kita ditanya tentang dinding, kita langsung menunjuk benda yang biasa kita sebut tembok, padahal pengertian dinding jauh lebih luas daripada tembok. Dinding bisa saja terbuat dari plastik, kain ataupun kertas. Tembok hanyalah salah satu dari dinding. Begitulah pikiran kita tercetak sejak dini untuk bekerja dan mengambil kesimpulan secara instan, sehingga terjadi penyempitan atas makna kata.

Guru, adalah juga ‘digugu dan ditiru’. Artinya setiap guru haruslah mempunyai modal untuk dipatuhi dan diteladani. Apa itu modalnya, silahkan cari pada diri mereka yang sudah menjadi guru sejati. Karena sifat guru tersebut, maka apapun atau siapapun yang memiliki kepantasan untuk digugu dan ditiru, tak peduli kasta dan dan golongan, ia layak untuk menyandang predikat guru. Namun tidak jarang predikat tersebut mengalami pendangkalan makna karena diperebutkan dan disayembarakan untuk ‘sekedar’ meraup keuntungan materi. Bukan berarti mengesampingkan materi, namun alangkah mulianya ilmu yang notabene adalah warisan para nabi berada dalam urutan nomor satu, baru kemudian materi yang merupakan buah dari tetesan keringat.

Demikian halnya tentang ‘guru’, apa yang kita sebut guru tidak hanya orang yang berdiri di depan kelas, di hadapan murid-muridnya (maaf lho ya, bapak-bapak dan ibu-ibu guru yang ada di depan kelas,hehehe…). Bisa saja seorang petani, seorang pedagang, ataupun seorang anak kecil menjadi guru. Atau bahkan tanpa sadar guru kita adalah bukan manusia. Bisa saja sang guru adalah api, batu, angin atau apa saja. Barangkali semut yang dalam kacamata kita sebagai hewan yang remeh dan tanpa guna layak juga disebut guru. Sejauh ini kita tidak tahu (atau lebih tepatnya tidak mau tahu) bahwa sebagai binatang, semutlah yang mengenal semacam ‘pasar perdagangan’ secara barter. Mereka juga mengeringkan bahan makanan untuk kemudian disimpan dalam jangka waktu tertentu sebagai persediaan. Dan yang jelas semut ‘tidak akan lupa jalan pulang’. (Seperti yang diungkapkan Pak Bèng, seorang pelukis teman saya dari Surabaya. Lewat bahasa rupa dia melukiskan semut ‘yang punya sistem navigasi canggih itu’). Kecanggihan itu karena mereka para semut mempunyai feromon, yaitu semacam parfum dalam diri masing-masing semut untuk mengenali semut lain yang juga berfungsi sebagai pewangi. Nilai-nilai plus dari semut itulah yang sepantasnya kita teladani. Kita juga ingat dalam awal sejarah anak manusia, peristiwa Qobil dan Habil. Atas izin Yang Kuasa, seekor burung gagak telah mengajarkan kepada anak cucu adam bagaimana cara untuk menguburkan mayat. Banyak hikmah yang bisa diambil dari bentangan semesta alam, tinggal kita secara gentleman mau mengakui dan memetiknya atau tidak. Seorang anak manusia tidak akan turun derajat karena berguru kepada yang terlihat remeh dan sepele. Dan bukan mustahil pula, kita bisa berguru pada kearifan seseorang yang hidup berabad-abad yang lampau.

ILMU DAN ‘LAKU’

Setiap hari, detik demi detik terjadi rangkaian peristiwa. Dari beragam peristiwa itu kemudian dapat kita ambil mutiaranya. Pada proses inilah penyerapan ilmu itu terlaksana (kaum agamawan mengatakan ilham). Lebih tepatnya proses ini adalah perangsangan serta pentajaman rasa dan intelegensi sebuah individu. Pertumbuhan ini terjadi, karena di dalam diri manusia sudah terbekali dengan akal.

Dalam falsafah Jawa terdapat ungkapan bahwa ‘ilmu iku sampurnane kanthi laku’, yang mengandung maksud bahwa sebuah ilmu hanya menjadi batu (=tanpa manfaat) kalaupun tanpa ada proses aplikasi (laku). Hal tersebut senada dalam ajaran Islam bahwa ilmu tanpa amal adalah sia-sia. Ilmu akan hanya sebatas ilmu ketika belum sampai pada penerapan, padahal kehidupan adalah samudera nyata yang setiap ikannya harus masuk dan berenang di dalamnya. Paus, seberapapun besar dan ganasnya, tidaklah cukup menjadi penguasa terbesar dengan hanya berada di atas pulau karang dan ngocèh (berkicau) tentang kehidupan dasar laut dari atas pulau itu. Kalaupun seperti itu maka seluruh penghuni lautan tentu akan mentertawakannya. Demikian juga ilmu dan ‘laku’, seperti air dan ikan. Kalau air tanpa ikan layaknya dunia tanpa kehidupan, dan kalau ikan tidak di air artinya tinggal menunggu saat-saat kehidupan itu berakhir. Maka itulah, sempurnanya apabila keduanya, ilmu dan aplikasi beriringan bersama.

Dalam skala yang lebih luas, ilmu (sebagai sesuatu yang ditransformasikan guru kepada murid) bukanlah sesuatu yang menjadi terminal akhir, namun hanya jembatan penghubung yang memang tetap harus dibuat kemudian dilalui, setelah itu kita tinggalkan untuk menuju episode berikutnya. Bukan berarti bahwa ilmu itu tidak penting, bahkan sangat penting. Tetapi ilmu sebatas menjadi sarana pintas menuju akhir, membuka selimut rahasia alam serta mengupas mutiaranya. Maka tajamnya mata pedang ilmu selalu menghadap kegelapan.

Dalam realitanya, tak ada sesuatu yang tak berkaitan dengan ilmu. Sadar atau tidak setiap aktivitas kita secara tidak langsung adalah penerapan sebuah ilmu, meskipun berlangsung sudah menjadi kebiasaan atau bahkan seolah menjadi gerak refleks. Yach, kehidupan adalah penerapan ilmu. Kita juga tahu bahwa dari waktu ke waktu ilmu pengetahuan selalu melebar dan meluas. Hal ini karena ilmu mengalami ‘pembengkakan’ yang merupakan tuntutan atas waktu, juga merupakan perwujudan kerinduan atas rasa penasaran dan kehausan manusia untuk menjadi super. Ataupun sebagai kodrati manusia yang dititipi akal untuk meramu alam. Namun yang terpenting dari itu semua adalah, apakah hasil ramuan itu pahit, getir atau justru menyehatkan. Ini terjadi salah satunya karena resep yang disampaikan para pahlawan tanpa tanda jasa itu.

2 komentar: