Selasa, 11 Oktober 2011


Mitos

Sejak awal, mitos sudah berkembang dibanyak belahan dunia. Mungkin sejak sebelum ada tulisan, ketika cerita dan dongeng tersebar secara lisan, nenek moyang kita sudah mengenal banyak mitos. Meskipun itu tak/belum terdefinisikan sebagai mitos. Mitos berasal dari bahasa Yunani ‘mythos’ yang secara harfiah berarti dongeng atau cerita, atau secara lebih tepat adalah dongeng khayal. Mulai dari cerita para dewa, nenek moyang mereka, ataupun juga banyak cerita mengenai suatu daerah beserta para tokoh-tokohnya. Bahkan masih banyak cerita-cerita tersebut yang masih melekat dalam alam bawah sadar kita sampai detik ini sebagai sesuatu yang harus kita anut kebenarannya. Sebagai contoh saja, ada cerita tentang terjadinya Gunung Tangkuban Perahu, terjadinya Rawa Pening. Atau juga tentang kota Surabaya (dan juga kota-kota lainnya) yang kesemuanya itu terhubung erat dengan mitos di belakangnya. Belum lagi mitos yang hanya tersebar di lingkup kehidupan sehari-hari kita, mungkin butuh beberapa buku untuk mengungkap satu per satu. Misalnya tentang kapan kita mendirikan rumah, tentang siapa yang akan memberi ‘pagar gaib’ rumah kita, dan macam-macam hal yang kesemuanya ada ‘aturan’ yang mesti ditaati. Bersambung menyatu dan membelenggu detak jantung dan menyesakkan rongga dada (bagaimana tidak sesak, setiap langkah kita dihantui dengan ketakutan yang disetting melegenda).

Itu semua yang kita kenal tentang mitos. Mitos yang konon ada sebagian kelompok yang justru ekstrem menyebutnya sebagai syirik. Ada yang mengklaimnya sebagai budaya, dan ada pula yang mengakuinya sebagai warisan ilmu dari leluhur yang harus dileluri (bhs Jawa, artinya dilestarikan) dan diabadikan. Dalam beda pendapat seperti ini kita semua adalah pakarnya, dan dengan gigih dan gagah berani mempertahankannya seolah-olah hidup mati kita ada di situ. Masing-masing pihak merasa benar, menyalahkan dan mangharamkan yang lain serta saling menjatuhkan. Padahal yang dipertahankan sendiri tak mau tahu, tak tahu atau bahkan tak ada, ibarat berebut kardus yang kosong. Atau mungkin pula memburu bayangan dalam kabut.

Fenomena mitos menjadi bumbu penyedap bagi kehidupan, baik dalam masyarakat yang paling primitive ataupun yang paling modern sekalipun. Dari desa pelosok sampai kota-kota yang penuh gemerlapan. Pun tak ketinggalan sampai Negara-negara Barat yang mengklaim dirinya modern. Mau tahu…?

Kita mungkin tak menyangka ada mitos di dalam kehidupan modern. (Ah…mana ada mitos dalam kelompok masyarakat realistis dan terpelajar itu, yang tindakannya berdasar pada hitung-hitungan ilmu pasti, yang setiap pemikirannya didasarkan pada logika?). Pertanyaan ini sangat mungkin terlintas dalam pikiran kita. Tapi kenyataannya memang mitos tak pandang bulu, muncul di manapun manusia tinggal, tak ubahnya seperti wabah flu atau juga seperti demam facebook beberapa waktu yang lalu. Adapun yang berbeda adalah bentuknya. Misalnya saja mitos tentang bintang jatuh, bila malam melihat bintang jatuh, maka segala keinginannya terkabulkan. Sungguh mitos modern yang menggelikan. Sempat terlintas di pikiran saya bahwa sangat mungkin mitos itu muncul bermula dari pepatah ‘gantungkan cita-citamu setinggi langit/ bintang’ sehingga ketika bintang itu jatuh, maka cita-citanya ikut terbawa menjadi kenyataan di bumi. (Hehehe…Tapi ini hanya sekedar otak-atik saya ketika kurang kerjaan).

Ada juga yang cukup membuat sedikit ketawa ketika saya tinggal di Solo. Kota yang sudah merias diri menjadi ‘kota madya’, di sana-sini dibangun mall, supermarket, hotel, restoran, dan atribut-atribut modern lain, tetapi seakan tetap tak mau berpisah dengan yang namanya ‘hantu’ mitos. Dalam setiap malam 1 Suro, Tahun Baru Jawa, digelar kirab yang rutin setiap tahunnya. Yang tak lain adalah Kirab Kyai Slamet. Siapakah Kyai Slamet itu? Kyai Slamet adalah kerbau milik Keraton Kasunanan Surakarta. Setiap orang, tua-muda, besar-kecil, pria-wanita berusaha untuk berjalan berada di belakang Kyai Slamet, berjaga-jaga barangkali si kerbau itu buang kotoran. Dan secara serentak mereka para pengiring itu memperebutkan kotorannya (sambil tersenyum, Anda bayangkan bagaimana ketika semua orang tersebut saling berebut dan buru-buru menyerbu kotoran kerbau itu). Semua beranggapan bahwa barangsiapa mendapatkan kotoran Kyai Slamet akan mendapatkan rejeki dan berkah. Bukankah ini mitos yang berawal dari bercabangnya persepsi dari masing-masing kepala dalam memandang dan mengupas sebuah persoalan.

Lain di Solo, lain lagi di negara-negara barat. Seperti dari kalangan negara berkembang, mitos juga muncul dan dibangun dari negara-negara modern ini (tentu saja mitosnya tak berkaitan dengan makhluk halus atau dunia gaib, hehehe…). Misalkan saja mereka melesakkan ‘virus pemikiran’ ke dalam otak kita bahwa seolah-olah minuman soft drink bisa membuat penyegaran badan dan pikiran, mengembalikan kepenatan dan memunculkan kembali semangat kerja kita. Padahal yang pasti, minuman itu bersifat korosif dalam usus kita.

Ada lagi dari layar tivi diiklankan bahwa memakai krim ini, atau bedak itu bisa membuat kulit lebih putih dan wajah terlihat semakin cantik, seakan-akan putih dan cantik adalah berbanding lurus. Seolah-olah yang tidak putih tidak cantik. Atau misalkan iklan rokok yang mengambil visual tentang kekuatan fisik, adventure serta olahraga, padahal efek rokok terbalik dengan visual iklannya, rokok justru menjadi salah satu penyebab melemahnya organ-organ fisik. Pembelokan cara pikir masyarakat ini terbentuk karena begitu seringnya iklan yang dijejalkan dalam ruang pikir serta ujung syaraf kita sehingga syaraf dan otak tak ada waktu untuk bekerja dengan jernih menelaah informasi yang masuk, sampai yang terjadi kemudian seolah-olah kitapun percaya akan hal itu. Meskipun yang dibelokkan tahu serta sadar sepenuhnya, namun tetap terbawa dan mengikuti.

Kalau sudah begini, paling tidak mitos menjadi salah satu katarsis bagi jiwa, untuk menghalau kepenatan-kepenatan yang menghimpit dalam keseharian kita. Mentertawakan diri sendiri melihat ketololan-ketololan kita semua. Mengangkat dan melupakannya sejenak, beban yang seakan tidak ada habisnya.

Mungkin ini hanya beberapa gelintir dari sekian banyak mitos yang berjubel dalam otak sehingga secara perlahan dan terus-menerus memberi pengaruh dalam pola perilaku kita sehari-hari. Namun perlu diingat, tidak menutup kemungkinan bahwa mitos itu juga ada benarnya, artinya secara metode modern teruji dan terbuka tabir misterinya.

2 komentar: