Minggu, 09 September 2012

Jumat, 21 Oktober 2011

GURU, ing ngarso sung tuladha…! Kami tut wuri meneladani

Ketika orang menyebut kata ‘guru’, ingatan kita kemudian tertuju pada orang yang mengajar di depan kelas, dengan beberapa pasang mata dan telinga yang memperhatikan di depannya. Persepsi itu tidaklah salah. Sejak kanak-kanak kita telah diajari untuk berpikir singkat dan instan. Padahal kita dapat lebih mengembangkan pikiran kita dengan sedikit lebih luas, tidak hanya pada apa yang kita lihat saja, namun juga pada apa yang kadang tidak sempat terlintas di dalam benak kita. Seperti halnya ketika kita ditanya tentang dinding, kita langsung menunjuk benda yang biasa kita sebut tembok, padahal pengertian dinding jauh lebih luas daripada tembok. Dinding bisa saja terbuat dari plastik, kain ataupun kertas. Tembok hanyalah salah satu dari dinding. Begitulah pikiran kita tercetak sejak dini untuk bekerja dan mengambil kesimpulan secara instan, sehingga terjadi penyempitan atas makna kata.

Guru, adalah juga ‘digugu dan ditiru’. Artinya setiap guru haruslah mempunyai modal untuk dipatuhi dan diteladani. Apa itu modalnya, silahkan cari pada diri mereka yang sudah menjadi guru sejati. Karena sifat guru tersebut, maka apapun atau siapapun yang memiliki kepantasan untuk digugu dan ditiru, tak peduli kasta dan dan golongan, ia layak untuk menyandang predikat guru. Namun tidak jarang predikat tersebut mengalami pendangkalan makna karena diperebutkan dan disayembarakan untuk ‘sekedar’ meraup keuntungan materi. Bukan berarti mengesampingkan materi, namun alangkah mulianya ilmu yang notabene adalah warisan para nabi berada dalam urutan nomor satu, baru kemudian materi yang merupakan buah dari tetesan keringat.

Demikian halnya tentang ‘guru’, apa yang kita sebut guru tidak hanya orang yang berdiri di depan kelas, di hadapan murid-muridnya (maaf lho ya, bapak-bapak dan ibu-ibu guru yang ada di depan kelas,hehehe…). Bisa saja seorang petani, seorang pedagang, ataupun seorang anak kecil menjadi guru. Atau bahkan tanpa sadar guru kita adalah bukan manusia. Bisa saja sang guru adalah api, batu, angin atau apa saja. Barangkali semut yang dalam kacamata kita sebagai hewan yang remeh dan tanpa guna layak juga disebut guru. Sejauh ini kita tidak tahu (atau lebih tepatnya tidak mau tahu) bahwa sebagai binatang, semutlah yang mengenal semacam ‘pasar perdagangan’ secara barter. Mereka juga mengeringkan bahan makanan untuk kemudian disimpan dalam jangka waktu tertentu sebagai persediaan. Dan yang jelas semut ‘tidak akan lupa jalan pulang’. (Seperti yang diungkapkan Pak Bèng, seorang pelukis teman saya dari Surabaya. Lewat bahasa rupa dia melukiskan semut ‘yang punya sistem navigasi canggih itu’). Kecanggihan itu karena mereka para semut mempunyai feromon, yaitu semacam parfum dalam diri masing-masing semut untuk mengenali semut lain yang juga berfungsi sebagai pewangi. Nilai-nilai plus dari semut itulah yang sepantasnya kita teladani. Kita juga ingat dalam awal sejarah anak manusia, peristiwa Qobil dan Habil. Atas izin Yang Kuasa, seekor burung gagak telah mengajarkan kepada anak cucu adam bagaimana cara untuk menguburkan mayat. Banyak hikmah yang bisa diambil dari bentangan semesta alam, tinggal kita secara gentleman mau mengakui dan memetiknya atau tidak. Seorang anak manusia tidak akan turun derajat karena berguru kepada yang terlihat remeh dan sepele. Dan bukan mustahil pula, kita bisa berguru pada kearifan seseorang yang hidup berabad-abad yang lampau.

ILMU DAN ‘LAKU’

Setiap hari, detik demi detik terjadi rangkaian peristiwa. Dari beragam peristiwa itu kemudian dapat kita ambil mutiaranya. Pada proses inilah penyerapan ilmu itu terlaksana (kaum agamawan mengatakan ilham). Lebih tepatnya proses ini adalah perangsangan serta pentajaman rasa dan intelegensi sebuah individu. Pertumbuhan ini terjadi, karena di dalam diri manusia sudah terbekali dengan akal.

Dalam falsafah Jawa terdapat ungkapan bahwa ‘ilmu iku sampurnane kanthi laku’, yang mengandung maksud bahwa sebuah ilmu hanya menjadi batu (=tanpa manfaat) kalaupun tanpa ada proses aplikasi (laku). Hal tersebut senada dalam ajaran Islam bahwa ilmu tanpa amal adalah sia-sia. Ilmu akan hanya sebatas ilmu ketika belum sampai pada penerapan, padahal kehidupan adalah samudera nyata yang setiap ikannya harus masuk dan berenang di dalamnya. Paus, seberapapun besar dan ganasnya, tidaklah cukup menjadi penguasa terbesar dengan hanya berada di atas pulau karang dan ngocèh (berkicau) tentang kehidupan dasar laut dari atas pulau itu. Kalaupun seperti itu maka seluruh penghuni lautan tentu akan mentertawakannya. Demikian juga ilmu dan ‘laku’, seperti air dan ikan. Kalau air tanpa ikan layaknya dunia tanpa kehidupan, dan kalau ikan tidak di air artinya tinggal menunggu saat-saat kehidupan itu berakhir. Maka itulah, sempurnanya apabila keduanya, ilmu dan aplikasi beriringan bersama.

Dalam skala yang lebih luas, ilmu (sebagai sesuatu yang ditransformasikan guru kepada murid) bukanlah sesuatu yang menjadi terminal akhir, namun hanya jembatan penghubung yang memang tetap harus dibuat kemudian dilalui, setelah itu kita tinggalkan untuk menuju episode berikutnya. Bukan berarti bahwa ilmu itu tidak penting, bahkan sangat penting. Tetapi ilmu sebatas menjadi sarana pintas menuju akhir, membuka selimut rahasia alam serta mengupas mutiaranya. Maka tajamnya mata pedang ilmu selalu menghadap kegelapan.

Dalam realitanya, tak ada sesuatu yang tak berkaitan dengan ilmu. Sadar atau tidak setiap aktivitas kita secara tidak langsung adalah penerapan sebuah ilmu, meskipun berlangsung sudah menjadi kebiasaan atau bahkan seolah menjadi gerak refleks. Yach, kehidupan adalah penerapan ilmu. Kita juga tahu bahwa dari waktu ke waktu ilmu pengetahuan selalu melebar dan meluas. Hal ini karena ilmu mengalami ‘pembengkakan’ yang merupakan tuntutan atas waktu, juga merupakan perwujudan kerinduan atas rasa penasaran dan kehausan manusia untuk menjadi super. Ataupun sebagai kodrati manusia yang dititipi akal untuk meramu alam. Namun yang terpenting dari itu semua adalah, apakah hasil ramuan itu pahit, getir atau justru menyehatkan. Ini terjadi salah satunya karena resep yang disampaikan para pahlawan tanpa tanda jasa itu.

Selasa, 11 Oktober 2011


Mitos

Sejak awal, mitos sudah berkembang dibanyak belahan dunia. Mungkin sejak sebelum ada tulisan, ketika cerita dan dongeng tersebar secara lisan, nenek moyang kita sudah mengenal banyak mitos. Meskipun itu tak/belum terdefinisikan sebagai mitos. Mitos berasal dari bahasa Yunani ‘mythos’ yang secara harfiah berarti dongeng atau cerita, atau secara lebih tepat adalah dongeng khayal. Mulai dari cerita para dewa, nenek moyang mereka, ataupun juga banyak cerita mengenai suatu daerah beserta para tokoh-tokohnya. Bahkan masih banyak cerita-cerita tersebut yang masih melekat dalam alam bawah sadar kita sampai detik ini sebagai sesuatu yang harus kita anut kebenarannya. Sebagai contoh saja, ada cerita tentang terjadinya Gunung Tangkuban Perahu, terjadinya Rawa Pening. Atau juga tentang kota Surabaya (dan juga kota-kota lainnya) yang kesemuanya itu terhubung erat dengan mitos di belakangnya. Belum lagi mitos yang hanya tersebar di lingkup kehidupan sehari-hari kita, mungkin butuh beberapa buku untuk mengungkap satu per satu. Misalnya tentang kapan kita mendirikan rumah, tentang siapa yang akan memberi ‘pagar gaib’ rumah kita, dan macam-macam hal yang kesemuanya ada ‘aturan’ yang mesti ditaati. Bersambung menyatu dan membelenggu detak jantung dan menyesakkan rongga dada (bagaimana tidak sesak, setiap langkah kita dihantui dengan ketakutan yang disetting melegenda).

Itu semua yang kita kenal tentang mitos. Mitos yang konon ada sebagian kelompok yang justru ekstrem menyebutnya sebagai syirik. Ada yang mengklaimnya sebagai budaya, dan ada pula yang mengakuinya sebagai warisan ilmu dari leluhur yang harus dileluri (bhs Jawa, artinya dilestarikan) dan diabadikan. Dalam beda pendapat seperti ini kita semua adalah pakarnya, dan dengan gigih dan gagah berani mempertahankannya seolah-olah hidup mati kita ada di situ. Masing-masing pihak merasa benar, menyalahkan dan mangharamkan yang lain serta saling menjatuhkan. Padahal yang dipertahankan sendiri tak mau tahu, tak tahu atau bahkan tak ada, ibarat berebut kardus yang kosong. Atau mungkin pula memburu bayangan dalam kabut.

Fenomena mitos menjadi bumbu penyedap bagi kehidupan, baik dalam masyarakat yang paling primitive ataupun yang paling modern sekalipun. Dari desa pelosok sampai kota-kota yang penuh gemerlapan. Pun tak ketinggalan sampai Negara-negara Barat yang mengklaim dirinya modern. Mau tahu…?

Kita mungkin tak menyangka ada mitos di dalam kehidupan modern. (Ah…mana ada mitos dalam kelompok masyarakat realistis dan terpelajar itu, yang tindakannya berdasar pada hitung-hitungan ilmu pasti, yang setiap pemikirannya didasarkan pada logika?). Pertanyaan ini sangat mungkin terlintas dalam pikiran kita. Tapi kenyataannya memang mitos tak pandang bulu, muncul di manapun manusia tinggal, tak ubahnya seperti wabah flu atau juga seperti demam facebook beberapa waktu yang lalu. Adapun yang berbeda adalah bentuknya. Misalnya saja mitos tentang bintang jatuh, bila malam melihat bintang jatuh, maka segala keinginannya terkabulkan. Sungguh mitos modern yang menggelikan. Sempat terlintas di pikiran saya bahwa sangat mungkin mitos itu muncul bermula dari pepatah ‘gantungkan cita-citamu setinggi langit/ bintang’ sehingga ketika bintang itu jatuh, maka cita-citanya ikut terbawa menjadi kenyataan di bumi. (Hehehe…Tapi ini hanya sekedar otak-atik saya ketika kurang kerjaan).

Ada juga yang cukup membuat sedikit ketawa ketika saya tinggal di Solo. Kota yang sudah merias diri menjadi ‘kota madya’, di sana-sini dibangun mall, supermarket, hotel, restoran, dan atribut-atribut modern lain, tetapi seakan tetap tak mau berpisah dengan yang namanya ‘hantu’ mitos. Dalam setiap malam 1 Suro, Tahun Baru Jawa, digelar kirab yang rutin setiap tahunnya. Yang tak lain adalah Kirab Kyai Slamet. Siapakah Kyai Slamet itu? Kyai Slamet adalah kerbau milik Keraton Kasunanan Surakarta. Setiap orang, tua-muda, besar-kecil, pria-wanita berusaha untuk berjalan berada di belakang Kyai Slamet, berjaga-jaga barangkali si kerbau itu buang kotoran. Dan secara serentak mereka para pengiring itu memperebutkan kotorannya (sambil tersenyum, Anda bayangkan bagaimana ketika semua orang tersebut saling berebut dan buru-buru menyerbu kotoran kerbau itu). Semua beranggapan bahwa barangsiapa mendapatkan kotoran Kyai Slamet akan mendapatkan rejeki dan berkah. Bukankah ini mitos yang berawal dari bercabangnya persepsi dari masing-masing kepala dalam memandang dan mengupas sebuah persoalan.

Lain di Solo, lain lagi di negara-negara barat. Seperti dari kalangan negara berkembang, mitos juga muncul dan dibangun dari negara-negara modern ini (tentu saja mitosnya tak berkaitan dengan makhluk halus atau dunia gaib, hehehe…). Misalkan saja mereka melesakkan ‘virus pemikiran’ ke dalam otak kita bahwa seolah-olah minuman soft drink bisa membuat penyegaran badan dan pikiran, mengembalikan kepenatan dan memunculkan kembali semangat kerja kita. Padahal yang pasti, minuman itu bersifat korosif dalam usus kita.

Ada lagi dari layar tivi diiklankan bahwa memakai krim ini, atau bedak itu bisa membuat kulit lebih putih dan wajah terlihat semakin cantik, seakan-akan putih dan cantik adalah berbanding lurus. Seolah-olah yang tidak putih tidak cantik. Atau misalkan iklan rokok yang mengambil visual tentang kekuatan fisik, adventure serta olahraga, padahal efek rokok terbalik dengan visual iklannya, rokok justru menjadi salah satu penyebab melemahnya organ-organ fisik. Pembelokan cara pikir masyarakat ini terbentuk karena begitu seringnya iklan yang dijejalkan dalam ruang pikir serta ujung syaraf kita sehingga syaraf dan otak tak ada waktu untuk bekerja dengan jernih menelaah informasi yang masuk, sampai yang terjadi kemudian seolah-olah kitapun percaya akan hal itu. Meskipun yang dibelokkan tahu serta sadar sepenuhnya, namun tetap terbawa dan mengikuti.

Kalau sudah begini, paling tidak mitos menjadi salah satu katarsis bagi jiwa, untuk menghalau kepenatan-kepenatan yang menghimpit dalam keseharian kita. Mentertawakan diri sendiri melihat ketololan-ketololan kita semua. Mengangkat dan melupakannya sejenak, beban yang seakan tidak ada habisnya.

Mungkin ini hanya beberapa gelintir dari sekian banyak mitos yang berjubel dalam otak sehingga secara perlahan dan terus-menerus memberi pengaruh dalam pola perilaku kita sehari-hari. Namun perlu diingat, tidak menutup kemungkinan bahwa mitos itu juga ada benarnya, artinya secara metode modern teruji dan terbuka tabir misterinya.

Kamis, 06 Oktober 2011

seni (ART), klenik dan mistis ditambah sedikit imajinasi

Seni, yang kata orang banyak identik dengan nyentrik dan aneh, atau juga indah bagi sebagian orang meskipun belum tertemukan dimanakah letak indah, nyentrik ataupun anehnya. Berbagai tafsir tentang seni itu tentu sah-sah saja, namun yang pasti bagi para penghuninya, seni merupakan sebuah tempat tinggal yang nyaman. Tentu juga dengan berbagai alasan dan sebab tersendiri.

Kata Pak Tardi (Fajar Sutardi, teman saya dari komunitas Perupa Pintu Mati Solo), seni tak jauh beda dengan ‘bertani’ dan juga ‘berdakwah’ yang memang selama ini dilakoninya. (Maaf Pak, saya tulis tanpa ijin, hehehe….). Saya sependapat dengan itu karena memang seni dan bertani (atau mungkin juga aktifitas lainnya) hampir sama, sama-sama mengolah sesuatu. Kalau bertani mengolah tanah, seni mengolah pikiran. Lebih lanjut Pak Tardi bilang bahwa alam selalu memberi dan tak pernah meminta, senada dengan yang diungkapkan seorang Kahlil Gibran, bahwa ‘ semaikan benih dan bumi akan memberi kamu bunga’. Sedangkan berdakwah ‘menyampaikan seruan kepada orang lain’ maka seni juga tak jauh beda, menyampaikan isi pikiran yang sudah menggumpal dan tervisualisasikan lewat karya kemudian disampaikan kepada khalayak umum.

Tiap kepala mempunyai isi pikiran masing-masing, ada juga teman saya yang berpendapat bahwa seni berawal dari sampah dan akhirnya menuju tempat sampah. Ini muncul karena kekesalan dia (atau juga ‘keheranan’) melihat para seniman terutama anak-anak kampus yang mengusung sesuatu yang menurut dia kotor dan layaknya sampah kemudian diangkat ke ruang pameran untuk diklaim sebagai karya seni, dan akhirnya karya itupun kembali ke asalnya yaitu tong sampah, karena tidak laku untuk dijual. (Saya tersenyum juga mendengar ini, hehehe…).

Kalau menurut pembaca bagaimana…?

Arus informasi dan teknologi sedemikian cepat, seperti kedipan mata. Kalau dulu untuk tahu apa yang terjadi di belahan bumi lain kita menunggu sehari atau minimal berjam-jam, kini dalam detik itu juga kita tahu dengan bantuan media. Demikian sehingga seni juga masuk dalam arus yang tak terelakkan tersebut. Perubahannya juga sebegitu cepat, apa yang dianggap baru hari kemarin, hari ini menjadi sesuatu yang basi. Demikian juga besok sudah muncul sesuatu yang baru dan menutup anggapan-anggapan baru tentang hari ini. Dalam hal karya seni, bermacam aliran muncul dan dengan mudah pula tertimpa yang lainnya sehingga tumpang tindih tak karuan banyaknya.

Bermacam komunitas seni yang lahir dan bermunculan, namun tak sedikit pula yang mati dan bertumbangan. Dihempaskan oleh derasnya arus global, atau jua disebabkan oleh sesuatu hal. Tak sedikit pula yang anggotanya berguguran satu persatu, tak terkecuali komunitas yang besar ataupun yang kecil. Saya yang secara geografis jauh dari tempat lahir dan mangkalnya ‘anak-anak Pintu Mati’, merasa betul betapa sebuah komunitas sangat berperan dalam atmosfir hari-hari. Kehadiran komunitas sangat memberi andil dalam perkembangan atau gerak keseharian kita. Warna hidup kita begitu terasa karena adanya komunitas. Hal itu berlaku dalam komunitas apapun, karena komunitas itulah yang membentuk dan membakar diri kita untuk ‘ada atau hilang’. ( Mungkin pendapat ini begitu subyektif, namun mudah-mudahan kesubyektifan itu tidak menghalangi untuk membuka pikiran kita masing-masing). Masalah ‘ada atau tidak’ tentu tidak hanya ditentukan semata-mata oleh sebuah komunitas namun komunitas tidak bisa kita kesampingkan keberadaannya.

Ah, kenapa jadi serius amat…? Si Amat aja nggak serius…hehehe.

Kembali tentang pendapat orang, seni ada yang menurut sebagian malah bikin pusing. Bagaimana tidak pusing, lukisan yang bentuknya tak karuan dipajang di ruang pamer kemudian orang lain disuruh melihatnya, bukankah ini bikin pusing namanya. Sebagian juga melihatnya dengan menggerutu. “Iki lukisan opo maneh…?!” Celetuknya saya dengar ketika seseorang melihat lukisan didinding pameran. Mungkin Anda juga pernah melihat kejadian seperti ini, atau malah orang tersebut adalah pembaca? Hehehe…

Lukisan kadang misterius, semisterius pelukisnya. Karena faktor misterius itulah yang semakin membuat penasaran bagi sebagian pemerhati, penikmat seni, kolektor ataupun kolekdol seni. Istilah kolekdol ini muncul karena seseorang membeli lukisan bukan untuk koleksi tetapi untuk dijual lagi. Sebuah istilah dari penggabungan kata koleksi dan adol (bahasa Jawa yang berarti menjual). Beberapa waktu yang lalu, para kolekdol ini dijauhi oleh mereka yang dengan kukuh menggenggam erat nama ‘seni’ didadanya. Namun lagi-lagi karena faktor waktu yang menggeser semuanya. Kini mereka itu tak segan lagi untuk ikut nimbrung di lingkaran pasar. Sebelumnya mereka alergi atau malu ketika mendengar nama ‘pasar’. Para kaum idealis mulai melirik pasar dan bahkan berlomba untuk sedekat mungkin bersentuhan dengannya. Pasar ramai oleh lukisan yang sangat beragam aliran, dari klasik sampai kontemporer.

Efek pasar seni sangat beragam, diantaranya membuat perubahan pada pelaku-pelaku seni. Yang dulu puas dengan idealisme dan konsep. Maka kini semakin melebar dengan sedikit keluar dari idealismenya. Atau juga sebagian mengklaim masih idealis dengan konsepnya. Tetapi yang pasti perubahan itu sangat kentara pada sikap keterbukaan mereka. Sebagai contoh yang saya lihat sendiri, lukisan-lukisan pak Bonyong (Bonyong Munny Ardie) yang dulu kata pak Beng (sesama pelukis, teman pak Bonyong dari Surabaya) lukisan-lukisan Bonyong ‘belum jadi’. Kata ini terlontar karena melihat lukisan-lukisan Bonyong ada yang disisakan satu figur yang sengaja ‘tidak diselesaikan’. Tetapi terlihat kini lukisan Bonyong secara visual sangat halus bila dibandingkan dengan yang dulu. Tentunya juga dengan idealisme yang sangat subyektif. Dengan kata lain, idealisme dengan bungkus yang baru. (Maaf lho pak Bonyong kalo pendapat saya ini keliru, hehehe…). “Méntému…!!!” kata pak Bonyong setiap kali diejek oleh seseorang.

Lain lagi dengan para pelaku seni yang dari awal sudah akrab dengan kolekdol, mereka terkadang sinis ketika mendengar kata idealisme, karena menurut sebagian mereka idealisme tidak bisa menghasilkan uang, padahal dapur harus tetap mengepul. (Ah, setiap orang boleh berpendapat koq. Pendapatnya juga benar dalam ruang lingkupnya masing-masing).

Mungkin tulisan ini hanyalah uneg-uneg penulisnya yang kini jauh dari komunitas, atau setidaknya curhat kepada angin, atau juga ibarat meludah ke langit yang kemudian akhirnya mengenai wajahnya sendiri. Terserah apa saja, yang penting semoga angin punya telinga atau langit punya gravitasi sehingga ludahnya tidak mbalik ke wajah lagi. Yang pasti, kini yang jauh itu mencoba untuk mengejar meskipun mungkin nanti terjadi overlap.

Salam budaya…!

Minggu, 18 Juli 2010


sejak awal lukisan telah menjadi salah satu ekspresi artis. selain lukisan, patung menjadi saudara dekatnya di dunia seni rupa. demikian sebagaimana lukisan, patung muncul di ruang tiga dimensi menjadi penting sebagai respon terhadap ruang dan volume. dari proses saya selama ini maka salah satunya lahir patung sebagaimana terlihat gambar disamping (detailnya), dengan judul "CUCI MUKA", terbuat dari media bambu dan kran air, tahun 2009, dengan panjang 560 cm.

FAJAR ART SHOP








Sebagai informasi tambahan, telah dibuka FAJAR ART SHOP, tersedia berbagai lukisan, dengan beragam gaya dan ukuran. juga menerima lukis potret, serta kaos lukis hand made. kami juga menerima pembuatan mural atau lukisan dan ornamen di dinding rumah Anda yang menjadikannya tampak lebih mnarik. Anda bisa kunjungi ke art shop kami di jalan Kalilarangan 63 Solo atau menghubungi telp 081393688131, sebelah selatan Matahari Singosaren Solo. Gambar-gambar di atas adalah beberapa lukisan yang ada di art shop kami.

Rabu, 14 Juli 2010

lukisan




masih tentang lukisan, kali ini menampilkan fokus yang lain... berjudul INVASI, SILUET SENJA dan RED STORY.